Sabtu, 28 Februari 2015

Galakkah aku??

Masih ingatkah kita pada suatu hari? Hari dimana kita menantinya selama sembilan bulan lebih dengan penuh doa dan harapan. Hari disaat kita melahirkan seorang bayi mungil nan lucu. Wajahnya yang polos…tatapan matanya yang penuh keteduhan…suara tangisnya yang teramat syahdu seolah melebur seluruh peluh yang kita rasakan selama mengandungnya. Serasa melenyapkan seluruh rasa perih tatkala melahirkannya. Hari itu hari terbahagia bagi kita, seorang ibu.
Waktu pun berlalu begitu cepat, hari berganti hari bulan berganti bulan ia tumbuh menjadi bayi yang lucu. Tingkahnya, tawanya bahkan tangisnya pun terkadang membuat kita selalu merindukannya. Hingga akhirnya bayi kita tumbuh menjadi seorang anak. Ia semakin pandai mengungkapkan apa yang menjadi keinginannya. Tak sekedar dengan ucapan tapi juga tangisan, teriakan bahkan amukan ia lakukan demi mendapatkan apa yang ia inginkan. Lantas apakah kita masih seperti yang dulu? Menikmati apa yang ia lakukan dengan senyuman dan kesabaran? Ataukah saat ini kita telah berubah menjadi seorang ibu super proteksi, membatasi setiap ruang gerak anak kita?
Wahai para ibu, dulu engkau lahirkan anakmu dengan penuh haru dan kini engkau ingin merobek jiwanya dengan sifat kasarmu?? Ada apa denganmu? Relakah kita mendapat gelar “Ibu galak” dari darah daging kita sendiri?? Sungguh kita tidak akan pernah mau menerima gelar itu.
Mengapa Harus Galak?
Pernah menguji masakan yang kita masak apakah benar-benar lezat ataukah sekedar berasa standart saja? Lidah siapa yang kita gunakan untuk mencicipi masakan kita agar hasilnya lebih objektif? Tentu kita akan meminta orang lain merasakan masakan kita, apakah memang benar-benar lezat atau masih ada rasa janggal di lidah. Demikian halnya dengan sikap yang kita lakukan pada anak sehari-hari. Kita tidak akan bisa menilai dengan objektif bahwa diri kita ini bukan “ibu galak” bagi anak kita. Justru anak kita lah yang mampu merasa dan mengambarkan bagaimana diri kita selama mendidik dan merawatnya.
Tanpa kita sadari, lisan kita begitu mudah mengeluarkan kalimat hinaan dan cacian pada anak. Menghardiknya, menganggapnya seolah hanya makhluk kecil yang tidak memiliki hak untuk didengar suaranya. Bahkan kita pun menjatuhkan sebuah pukulan padanya. Menyesalkah kita? Ya, biasanya tatkala malam datang dan anak kita mulai terlelap dalam mimpinya kita akan menghampirinya seolah ingin membangunkan dan mengatakan “Maafkan Ibu, Nak. Ibu sebenarnya sayang sekli padamu”. Kendati demikian kita pun mengulangi hal serupa lagi di keesokan harinya, menjadi ibu galak.
Seorang ibu galak biasanya pernah mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan dari orangtuanya dahulu. Masa lalu yang dipenuhi dengan kekerasan, cacian dan hinaan akan terekam kuat di dalam memori otaknya. Hingga pada akhirnya memori itu akan menyala secara otomatis. Artinya ia akan menerapkan hal serupa pada anaknya seperti apa yang ia peroleh dulu dari orangtuanya. Relakah kita menjadi sebab anak-anak kita kelak melakukan hal yang sama? Mengapa kita tidak memilih mendidiknya dengan penuh kelembutan, cinta dan kesabaran hingga anak keturunan kita kelak pun akan terdidik dengan hal yang serupa. Mari kita berbenah, mengapa kita harus galak.
Ibuku Memang Galak
Bagaimana rasanya bila suatu hari kita mendengar pengakuan dari anak kita “Ibu galak!! Aku gak suka sama ibu.” Terasa melemah tulang persendian kita. Mengapa anak kita sendiri mengatakan hal itu, padahal apa yang kita lakukan selama ini demi kebaikannya. Tapi itulah faktanya. Versi anak, kita memang galak. Saatnya mengoreksi diri kita masing-masing apakah kita memang galak menurut anak?
Kita galak karena kita sering memaksa anak menyukai sesuatu yang sebenarnya sangat ia benci. Ia ingin memakai baju warna biru, tapi kita paksa ia agar memakai baju warna merah dengan alasan lebih bagus. Padahal ia sama sekali tak suka dengan warna merah. Ia memiliki kesukaan warna sendiri tidak harus sama dengan kita. Kenapa kita memaksanya?
Kita galak karena kita sering mengatakan padanya “Berhenti!!!”, “Jangan!!” dan “Tidak boleh”. Semakin sering kita mengatakan hal itu maka semakin tertanam di hati anak bahwa kita adalah sosok yang galak. Mengapa demikian? Karena anak merasa selalu dibatasi dan dilarang, padahal fitroh seorang anak kecil adalah ingin mencoba dan mengetahui banyak hal. Lantas apakah kita membiarkan anak melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya? Tentu saja tidak. Kita bisa menggunakan bahasa yang lain dengan hakikat yang sama. Misalnya anak kita bermain di air genangan hujan yang kotor, cukup katakan “Adik, suka ya main di air? Coba dilihat airnya itu bersih nggak ya, kalau kotor adik harus segera cuci tangan sebelum kuman-kumanya pindah ke tangan adik.” Simple, tak terlihat unsur melarang.
Kita memang galak, beberapa kali kita lontarkan kalimat ancaman pada anak, menakut-nakuti anak manakala ia tidak melakukan apa yang kita perintahkan. Membandingkan anak dengan orang lain dan menuntut anak berprestasi di luar batas kemampuannya. Padahal anak kita tak mugkin sama dengan siapa pun. Jadi, kita memang galak versi anak.
Redam Karakter Galak
Lambat tapi pasti anak kita akan tumbuh menjadi dewasa. Saat hari itu tiba kita akan merindukanya, merindukan “kenakalan” anak kita. Namun kita tak akan mampu memutar ulang waktu. Hari itu anak kita akan sibuk dengn dunia baru, pekerjaan dan keluarganya. Saat itu tiba, kita baru menyadari dan menyesali bahwa kita belum mampu menanam benih kecintaan untuknya. Hingga kita pun tak bisa memanen kebahagian di hari itu. Apakah kita akan membiarkan hal itu terjadi? Tentu saja tidak. Kita harus meredam karakter galak yang melekat pada diri kita, sekarang juga.
Hindari amarah, berwudhu dan menjauh dari anak saat ia melakukan hal-hal yang mudah memancing emosi kita. Tahanlah lisan kita, pahami bahwa seorang anak memang memiliki karakter yang unik. Anak bukan miniatur orang dewasa yang harus bertingkah laku selayaknya orang dewasa. Anak tetaplah anak. Sadarkah kita wahai para ibu, kita bisa pandai mendidiknya tak lain adalah karena ulah anak-anak kita sendiri. Merekalah sesungguhnya guru kita. Merekalah yang menjadikan kita terampil dalam bersikap.
Saatnya menyadari bahwa anak adalah amanah dari Allah. Amanah yang wajib kita jaga lahir dan batinnya. Tak boleh kita lukai dengan alasan apapun juga. Akan tiba saatnya kita harus mempertanggungjawabkan semua itu di hadapan Allah. Apa jawaban kita kelak, apakah kita akan menjawab bahwa kita melakukan itu karena kita sayang padanya? Sungguh tidak ada yang akan luput dari pengawasan Allah.
Edisi menghakimi diri.....


0 komentar:

Posting Komentar