Jumat, 27 Februari 2015

TUJUH HAL YANG HARUS DIHINDARI DALAM BERUMAH-TANGGA

Kami percaya bahwa pernikahan adalah komitmen bersama antara dua individu. Kebahagiaan sebuah rumah tangga tidak ditentukan oleh seorang istri, juga tidak dikendalikan oleh seorang suami, tetapi oleh keduanya. Suami dan istri adalah sepasang sepatu yang harus berjalan beriringan dan berdampingan… Meski keduanya melangkah dengan cara dan gaya yang berbeda, tetapi memiliki satu tujuan yang sama. Cara berjalan yang baik tidak ditentukan oleh kaki mana yang paling banyak menopang atau menumpu, kan? Seperti sepasang sepatu yang saling melengkapi, masing-masing pihak dalam rumah tangga memiliki perannya masing-masing… Dan perlu diingat, keduanya sama-sama penting
Kami percaya bahwa kami akan memiliki pernikahan yang lebih baik, keluarga yang bahagia, dan kualitas kehidupan yang dipenuhi keberkahan, jika masing-masing kami menjadi individu-individu yang berusaha menjadi lebih baik setiap harinya—tentu dengan saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Bagaimana caranya? Setiap hari kami berlatih untuk menghindari tujuh hal berikut ini :
Pertama, saling membicarakan di belakang. Dalam kondisi apapun, kami selalu berusaha untuk tidak membicarakan pasangan tanpa sepengetahuannya, bahkan termasuk kepada orangtua masing-masing. Tak jarang ibu saya diam-diam bertanya tentang suami, barangkali ingin memastikan apakah saya bahagia atau tidak? Jika hal seperti ini terjadi, saya biasanya meminta ibu untuk mengobrol langsung dengan suami, tentang apa saja. “Nanti ibu akan tahu sendiri, kok,” jawab saya sambil tersenyum. Saya tidak mau menggosipkan suami saya di belakang. Banyak keluarga berantakan hanya gara-gara seorang suami menggosipkan istri kepada ibunya sendiri, untuk kemudian menanam rasa curiga dan tidak suka di antara menantu dan mertua—yang kelak menjadi bom waktu yang membawa pada banyak pertengkaran dalam keluarga.
Kedua, men-judge pasangan. Dalam sebuah hubungan, kadang-kadang kita tergoda untuk memberikan penilaian-penilaian kepada pasangan masing-masing. Sebisa mungkin kami menghindari ini. Men-judge pasangan, misalnya menyebut istri nggak nurut, menyebut suami pemalas, atau lainnya, bagi kami adalah sikap yang sombong. Ada relasi AKU-KAMU yang arogan di dalamnya, seolah-olah ingin mengatakan ‘aku benar’ dan ‘kamu salah’. Rumah tangga adalah tentang KAMI. Dalam relasi ‘kami’, kebenaran, kesalahan, kesedihan, dan kebahagiaan tidak pernah hanya milik dan tanggungjawab salah satu pihak saja—tetapi milik dan tanggung jawab bersama. Misalnya, jika suami benar, bukan berarti istri salah… Barangkali sang istri perlu pengetahuan dan pengalaman baru, kan?
Ketiga, pikiran negatif. Saya ingat penjelasan Louis L. Hay tentang bagaimana pikiran begitu memengaruhi kehidupan kita. Jika pagi-pagi kita berpikir “Ini akan jadi hari yang buruk!”, maka hari itu akan jadi hari yang buruk karena kita terus-menerus tidak percaya bahwa akan ada sesuatu yang membahagiakan kita. Bayangkan apa jadinya jika istri terus berpikir “suami saya tidak pengertian” atau “suami saya tidak setia”? Apa jadinya jika suami atau istri sama-sama berpikir bahwa rumah tangganya tidak akan bahagia dan tidak akan berlangsung lama?
Keempat, komplain. Ini memang sulit untuk dihindari, saya pun masih terus belajar. Tapi, sangat penting untuk berusaha tidak komplain pada pasangan. Tentang masakan yang kurang asin, mungkin kita bisa meminta garam daripada komplain tentang masakan istri kita itu, kan? Makanan yang kurang asin tidak akan menyakiti kita, tetapi kata-kata kita tentangnya bisa menyakiti istri kita. Suatu hari suami mengatakan ini kepada saya: “Heran deh sama suami yang suka komplain sama penampilan istrinya. Harusnya sering-sering ajak istrinya ke butik, toko tas, atau toko kosmetik, dong. Simple, kan?”
Kelima, tidak mau mengakui kesalahan dan saling menyalahkan. Menurut saya, ini hal yang paling sulit. Mungkin kita perlu bertanya pada diri masing-masing, jika mengalami kesulitan, kemalangan, atau ketidakberuntungan… Seberapa sering kita memilih mengatakan “ini gara-gara kamu, sih!” daripada “Ini salahku”? Seberapa sering kita menunjuk hidung pasangan kita sambil berkata “harusnya kamu begini” atau “harusnya jangan begitu” daripada “maafkan aku”?
Keenam, berbohong. Sederhana saja: Kita tidak suka dibohongi, maka jangan membohongi orang lain. Dan kita tahu bahwa perselingkuhan, pengkhianatan, juga kebohongan-kebohongan besar lainnya selalu dimulai dari hal-hal paling sepele dan remeh-temeh di keseharian.
Ketujuh, dogmatisme. Saya sering menemukan suami yang seenaknya berlindung di balik ayat bahwa ‘kedudukan laki-laki di atas perempuan’ (ar-rijâlu qawwamûna ‘alan-nisâ) untuk bertindak sewenang-wenang pada istrinya—bahkan bersikap otoriter. Bagi saya, mereka gagal memahami kata ‘qawwam’ yang tidak semata-mata berarti ‘di atas’ tetapi juga bermakna ‘melindungi’, ‘mengayomi’, ‘menyayangi’ dan ‘menjaga’. Tidak jarang juga kita menemukan para suami yang ngotot melakukan poligami karena itu ‘sunnah’ tetapi gagal memahami konteks dan enggan menjalankan sunnah-sunnah Nabi yang lainnya. Para istri juga tidak ketinggalan, sebenarnya. Dengan memanfaatkan hadits ‘sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istri kalian’, para istri sering membuat suami terpojok dan menuntut ini-itu tanpa memerhatikan kondisi si suami.
Setiap hari, saya dan suami berlatih untuk menghindari tujuh hal itu. Kadang-kadang kami gagal. Tetapi kami tidak berhenti. Pernikahan adalah komitmen untuk saling menerima kekurangan dan bersama-sama menutupi serta memperbaiki kekurangan-kerungan itu. Pernikahan adalah sekolah kehidupan yang setiap hari memaksa suami dan istri untuk belajar, untuk saling menasihati dalam kebaikan, dan saling menolong dalam kesabaran. Tak salah sekolah ini disebut ‘rumah-tangga’: Semestinya suami dan istri memang sama-sama berumah dalam cinta, bergandengan tangan meniti tangga ke surga kebahagiaan bersama!

0 komentar:

Posting Komentar